KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat
dan hidayah Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah “Studi Islam Asia
Tenggara”.
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal itu
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun, berkat bantuan dan dorongan
berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap dalam penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat,
khususnya bagi kami sendiri dan para pembaca umumnya. Dan semoga dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang
akan datang.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Pekanbaru
, Maret 2019
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................................ 1
DAFTAR
ISI............................................................................................................................ 2
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................................................... 3
a. LATAR
BELAKANG................................................................................................ 3
b. RUMUSAN
MASALAH........................................................................................... 3
c.
TUJUAN MASALAH............................................................................................... 4
BAB
II PEMBAHASAN............................................................................................................ 5
A. SEKILAS
TENTANG NEGARA THAILAND................................................................. 5
B. SEJARAH
MASUKNYA ISLAM DI THAILAND............................................................ 6
C. DINAMIKA
PENDUDUK THAILAND........................................................................ 8
D. AKAR
SEJARAH MINORITAS MUSLIM THAILAND................................................... 9
E. PROBLEMATIKA MINORITAS MUSLIM THAILAND................................................ 10
F.
MINORITAS MUSLIM THAILAND DAN KEBIJAKAN
PEMERINTAHAN THAILAND………..12
G.
PERKEMBANGAN KONTEMPORER MINORITAS MUSLIM THAILAND…………………………15
H. DISKRIMINASI
MUSLIM PADA PENDIDIKAN ISLAM DI THAILAND.......................... 16
BAB
III PENUTUP.................................................................................................................. 20
A. KESIMPULAN..................................................................................................... 20
B. SARAN............................................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Asia Tenggara adalah tempat tinggal bagi penduduk
muslim terbesar di dunia. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia,
Malaysia, Brunei dan minoritas ditemukan di Burma, Singapura, Filipina, dan
Thailand. Kawasan Asia Tenggara merupakan tempat yang unik dan menarik bagi
perkembangan agama agama di dunia. Sehingga hampir seluruh agama terutama agama
besar pernah singgah dan mendapat pengaruh di beberapa tempat di kawasan ini,
termasuk agama Islam. Bahkan Islam tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
penduduk muslim terbesar ada di kawasan Asia Tenggara.
Tetapi meskipun demikian jumlah penduduk muslim di
Thailand tidak sebanyak dan sebesar di kawasan lain di Asia Tenggara. Di
Thailand hanya 15% yang beragama Islam dan 80% nya menganut agama Budha. Ini
disebabkan banyaknya problema yang dihadapi muslim dikawasan tersebut.
b. Rumusan masalah
1. Apa
sekilas tentang negara Thailand?
2. Bagaimana
sejarah masuknya Islam di Thailand?
3. Bagaimana
dinamika penduduk Thailand?
4. Apa
akar sejarah minoritas muslim Thailand?
5. Apa
problematika minoritas muslim Thailand?
6. Bagaimana
minoritas muslim Thailand dan kebijakan pemerintahan Thailand?
7. Bagaimana
perkembangan kontemporer minoritas muslim Thailand?
8. Bagaimana
diskriminasi muslim pada pendidikan Islam di Thailand?
c. Tujuan penulisan
1. mengetahui
sekilas tentang negara Thailand
2. mengetahui
sejarah masuknya Islam di Thailand
3. mengetahui
dinamika penduduk Thailand
4. mengetahui
akar sejarah minoritas muslim Thailand
5. mengetahui
problematika minoritas muslim Thailand
6. mengetahui
minoritas muslim Thailand dan kebijakan pemerintahan Thailand
7. mengetahui
perkembangan kontemporer minoritas muslim Thailand
8. mengetahui
diskriminasi muslim pada pendidikan Islam di Thailand
9. menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai sejarah Islam di Thailand
10. memenuhi
tugas mata kuliah SIAT
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas
tentang Negara Thailand
Asal mula secara tradisional di kaitkan dengan
sebuah kerajaan yang berumur pendek, yaitu Kerajaan Sukhotai yang didirikan
pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian di teruskan Kerajaan Ayutthaya yang
didirikan pada pertengahan abad ke 14 dan
mempunyai wilayah kekuasaan yag lebih besar di bandingkan Sukhotai.
Kebudayan Thailand dipengaruhi kuat oleh
Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa Negara besar Eropa di mulai pada
abad ke 16. Meski mengalami tekanan yang kuat, Thailand tetep bertahan sebagai
satu-satunya Negara Asia Tenggara yang tidak pernah di jajah oleh Eropa. Namun
demikian pengaruh barat, termasuk ancaman kekerasan, mengakibatkan berbagai
perubahan pada abad ke 19 dan diberikannya banyak kelonggaran bagi
pedagang-pedagang Britania.[1]
Thailand
adalah sebuah negara Monarki Konstitusional yang terletak di Asia Tenggara.
Dengan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional tersebut, Kepala negara
Thailand adalah seorang Raja dan Kepala Pemerintahannya adalah seorang Perdana
Menteri. Luas wilayah Thailand adalah sebesar 513.120 km2 dengan jumlah
penduduknya adalah sebanyak 68.200.824 jiwa. Mayoritas penduduk Thailand adalah
etnis Thai dan beragama Buddha.
Secara astronomis, Thailand terletak di antara
5°- 21° LU dan 97°- 106° BT. Negara yang nama lokalnya disebut Mueang Thai ini secara geografis berbatasan
dengan Laos dan Kamboja di sebelah Timurnya sedangkan disebelah baratnya
berbatasan dengan Myanmar dan Laut Andaman. Di sebelah Selatan, Thailand
berbatasan dengan Malaysia dan Teluk Siam. Sebelumnya, Negara Thailand ini
dikenal juga dengan sebutan Negara Siam.
Di hubungan luar negeri, Thailand adalah salah
satu negara pendiri ASEAN bersama dengan Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Filipina. Kota Bangkok yang merupakan Ibukota Thailand adalah kota dimana
organisasi geo-politik dan ekonomi ASEAN ini didirikan. Selain sebagai anggota
ASEAN, Thailand juga merupakan anggota PBB dan lembaga-lembaga dibawah PBB
serta anggota APEC dan Interpol. Thailand juga dikenal
sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah
oleh negara-negara Eropa.
Di bidang perekonomian, Thailand memiliki
pendapatan domestik bruto atau PDB sebesar USD. 1,161 triliun dengan pendapatan
perkapitanya sebesar USD. 16.800,-. Infrastruktur Thailand berkembang dengan
sangat baik dengan kebijakan-kebijakan pro-investasi sehingga banyak perusahaan
yang menanamkan modalnya di negeri gajah putih tersebut. Dua pertiga PDB
Thailand adalah berasal dari ekspor komoditas keluar negeri. Produk-produk yang
diekspor oleh Thailand diantaranya seperti produk otomotif, produk elektronik,
komoditas agrikultur dan produk-produk pengolahan bahan makanan. Pertumbuhan
ekonomi Thailand adalah sebesar 3,2% di tahun 2016[2]
B.
Sejarah
masuknya Islam di Thailand
Etnis Melayu muslim di negara ini merupakan kelompok
minoritas. Karena menurut data pada tahun 1979 jumlah mereka yang berada di
Muangthai 2,84% atau 977,282 jiwa dari 46 juta jiwa. Akan tetapi di daerah
selatan yang berbatasan dengan Malaysia yaitu di provinsi Patani, Yala, Sutanan
Narathivat, Melayu-Muslim merupakan kelompok mayoritas, yaitu mencapai 74% dari
seluruh penduduk di ke empat provinsi tersebut. Secara historis, keempat
provinsi tersebut merupakan suatu kerajaan yang disebut sebagai kerajaan Patani
Raya yang menjadikan Islam sebagai agama resminya. Kapan tepatnya kerajaan
Patani beralih ke agama Islam, hingga kini belum diketahui dengan pasti. Namun
proses Islamisasi dikalangan penduduknya secara lebih intensif terjadi pada
abad ke-12 hingga ke-15. Syekh Said dari kampong Pasai memainkan peranan yang
sangat menentukan bagi proses Islamisasi kerajaan Patani yang berikutnya
berubah menjadi kesultanan. Dengan berdirinya kesultanan Patani, wilayah ini
kemudian tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik di dunia
dagang, namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual.
Dengan ketiga unsur tersebut Patani pada zaman kesultanan termasuk suatu
wilayah yang kosmopolit. Dibidang intelektual terdapat nama seperti Muhammad
Thair bin Ali al-Fatani (914-78/1508-78) yang menulis buku Tadzkirat
al-Maudhu’at, ia adalah seorang ulama Patani awal yang paling terkenal. Tokoh
lain yang cukup terkenal adalah Ali bin Ishaq al-Fatani dan Muhammad Shalih bin
Abd al-Rahman al-Fatani. Dari dua nama yang disebut terakhir inilah, Daud bin
Abdullah bin Idris al-Fatani memperoleh ijazah dan penegtahuan Tarekat
Samaniyah, tidak langsung kepada Muhammad al-Samani al-Madani.[3]
Institusi sosial politik kesultaan setidaknya telah
berupaya menopang proses Islamisasi dengan cara mempraktekkan Islam dalam
kehidupan sehari hari. Namun usaha lebih lanjut untuk mempertajam akar
Islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik kesultanan,
terutama setelah Patani masuk dalam periode “Ratu-ratu Patani”
(976-1101/1568-1688). Instabilitas tersebut berawal ketika Raja Kali berusaha
memberontak dan mengambil alih singgasana dari Raja Lela. Dalam perjalanan
historis berikutya, Patani mengalami konflik internal juga harus berhadapan
dengan gencarnya upaya kerajaan Thai Budha di Chao Phraya (kemudian menjadi
Bangkok) yang berusaha menyatukan kesultanan Patani ke dalam wilayah
kekuasaannya. Usaha ini berhasil dengan
jatuhnya kesultanan Patani pada tahun 1202/1786. Meskipun kesultanan Patani telah
jatuh, namun kebijakan invansi damai oleh kerajaan Thai sedikit membantu,
sehingga tidak membuat kaum muslim Patani hanya tinggal sejarah. Mobilitas
ulama ke dan dari wilayah Patani masih tetap berlangsung. Dalam taraf tertentu
Patani masih dijadikan daerah tujuan berkunjung , dan tempat mengenyam
pendidikan dini bagi anak anak muslim.
Akan tetapi pada akhir abad ke-18, kerajaan Siam
menaklukan krajaan Patani Raya tersebut. Meskipun dia menjadi wilayah jajahan
kerajaan Siam, yang tunduk dan selalu mengirimkan upeti kepada Siam, namun
secara administrative segala tata cara pemerintahan dan pengaturan kehidupan
sosial rakyat Patani Raya berdasarkan pada kultur dan budaya Islam. Barulah
setelah terjadi perjanjian perbatasan antara wilayah jajahan Inggris di
Semenanjung Malaya dan kerajaan Siam pada tanggal 20 Desember 1902. Sehingga
secara devinitif menjadi bagian dari Siam. Dari sinilah keberadaan budaya dan
kultur rakyat mulai terusik. Kerana pemerintahan Siam mulai berusaha melakukan
program pembaharaan yang bertujuan untuk menggantikan identitas kultur dan
agama orang Melayu-Muslim dengan identitas kultur Thai.[4]
C. Dinamika Penduduk Thailand
Jumlah penduduk muslim di Thailand sekitar 15
persen, di bandingkan penganut Buddha, sekitar 80 persen. Mayoritas muslim
tiggal di selatan Thailand, sekitar 1,5
juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk,
khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, toga provinsi yang sangat mewarnai
dinamika di Thailand selatan. Tradisi muslim di wilayah ini mengakar sejak
kerajaan Sri Vijaya yang mengusai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand
Selatan.[5]
Jika 3/4 suku bangsa
Thailand berasal dari etnis Thai dan Lao, maka jika dihitung sekitar 51 juta
penduduk Thailand berasal dari kedua suku tersebut. Suku Thai atau bisa
disebut juga suku Siam dibagi lagi menjadi 30 sub suku yang tersebar di seluruh
Thailand dan sebagian wilayah Asia Tenggara.[6]
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan
penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan
Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya
di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di
Thailand Selatan. Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim ,
Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang
menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Thailand Selatan
terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla,
dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat
dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006:
34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara
mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga
provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada
di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus
Penduduk, Thailand, 2000).[7]
D.
Minoritas
Muslim Thailand (Akar Sejarah)
Minoritas Muslim di Muangthai tinggal di empat
provinsi bagian selatan: Pattani, Narathiwat, Satun dan Yala, juga termasuk
sebagian dari provinsi Songkhla. Seluruh provinsi ini dulunya termasuk wilayah
kesultanan Pattani.
Secara historis, keempat provinsi tersebut merupakan
satu kerajaan yang disebut kerajaan Patani raya yang menjadikan Islam sebagai
agama resminya. Kapan tepat nya kerajaan Patani beralih ke agama Islam hngga
kini belum diketahui dengan pasti. Namun proses Islamisasi di kalangan
penduduknya secara lebih intensif terjadi pada abad ke 12 hingga ke 15 Syeh
Said dari Kampoang Pasai memainkan peranan yang sangat menentukan bagi proses
islamisasi kerajaan Patani yang berikutny berubah menjadi kesutanan. Dengan
berdirinya kesultanan Patani, wilayah ini kemudian tidak hanya meneguhkan diri
sebagai pusat kekuasaan politick dan dunia dagang, namun juga menjadi tempat
persemaian agama dan intelektual. Dengan ketiga unsur tersebut, Patani pada
zaman kesultanan termasuksatu wilayah yang kosmopolit. Di bidang intelektual
misalnya, terdapat nama seperti buku Tadzkirat al-maudhu’at ialah seorang ulama
Patani yang paling terkenal. Tokoh lain nya yang cukup terkenal adalah Ali bin
Ishaq a-Fatani. Dari kedua nama yang disebut terakhir inilah, Daud bin Abdullah
bin Idris alfatani memperolrh ijazah dan pengetahuan Tarekat Samaniyah, tidak
langsung kepada Muhammad al Samani al Madani.
Dalam perjalanan historis berikutnya, Patani
disamping mengalami konflik internal juga harus berhadapan dengan gencarnya
upaya kerajaan Thai-budha di Chao phraya yang berusaha menyatukan kesultanan
Patani dalam wilayah kekuasaannya. Usaha ini berhasil dengan jatuhnya
Kesultanan Patani pada tahun 1202/1706. Meskipun kesultanan Patani telah jatuh,
namun kebijakan invasi damai oleh kerajaan Thai sedikit membantu, sehingga
tidak membuat kaum muslim Patani hanya tinggal sejarah, tetapi pada abad ke 18,
kerajaan Syian menaklukkan kerajaan Patani Raya. Meskipun menjadi daerah
jajahan kerajaan Syiam, yang tunduk da selalu mengirim upeti kepada Syiam.
Tradisi dan peradaban Hindu-Budha cenderung menguat
setelah kemunduran kesultanan Patani hingga institusi politik kesultanan
tersebut benar-benar jatuh ke kekuasaaan Thai-Budha atas Patani Islam semakin
terbukti Budha berhasil menempel pada institusi politik modern, yang kemudian
juga berhasil menempel pada ideologinegara Thailand.[8]
E.
Problema
Minoritas Muslim Thailand
Sejak 1906,
sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-negara
di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang kemudian
menjadi provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu Utara: Kedeh, Kelantan, Perlis dan Terengganu oleh
inggris dimasukkan sebgai bagian dari Malaysia.
Sejak penyatuan kelima negara di Melayu Utara ke
dalam bagian dari Thailand, terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan
Buddis Thailand. Pada awal pemerintahan yang dikuasai oleh tentara jenderal
Luang Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944, Marshal Sarit Thanarat, 1958-1963
dan memimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme budaya Thailand menjadi
kebijakan utama. Thaisasa- upaya penggunaan budaya dan bahsa Thai- secara kuat
di seluruh Thailand, termsuk wilayah Selatan, membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan resistensi
sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thialand Selatan.peristiwa yang menegaskan pada tahun
2004 sangat menarik perhatian semua
pihak baik di Thailand maupun di luar Thailand.
Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi
masalah yang sama dengan dengan bangsa Moro do Filipina. Problem yang dihadapi
kaum Muslim Thailand dan Filipina adalah problem kelompok minoritas yang harus
hidup berdampingan secara damai dengan non-muslim dalam negara yang sama.
Mereka berada dalam dilema bagaimana melakukan rekonsiliasi antara keyakinan
islam fundamental mereka dengan perlunya menjadi warga negara yang baik di
Negara-negara yang didominasi oleh non-muslim.[9]
Problematika umat Islam di Tailand, tidak terlepas
dari problematika yang dihadapi kaum muslim Melayu di bagian Selatan. Mereka
diharuskan memakai pakaian bukan Melayu dan mengadopsi nama-nama Thai bila
mereka ingin memasuki sekolah-sekolah pemerintah atau mencari pekerjaan dalam
dinas pemerintahan. Bahasa Melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri
atau digunakan dalam percakapan dengan para pejabat pemerintah. Di Tailand,
kaum minoritas muslim dipandang dengan sikap negatif sebagai orang Khaek.
Secara harfiah dalam bahasa Thai, kata ini berarti “tamu”. Istilah ini juga
digunakan untuk menyebut tamu-tamu asing atau imigran kulit berwarna, dan dalam
konotasi ini dikenakan kepada orang-orang muslim dari Tailand Selatan, sebagai
orang Melayu. Secara resmi mereka disebut “orang-orang Thai”. Penyebutan
“Muslim Thai” bagi “Muslim Melayu” merupakan upaya yang disengaja untuk
mengaburkan jati diri mereka sebagai orang-orang yang sama sekali berbeda dari
orang-orang Thai lainnya. Dengan demikian, istilah Thai-Islam atau Thai-Muslim
atau Khaek digunakan secara resmi untuk menyebut mereka. Pada beberapa
kalangan, kaum muslim disebut Khaek, adalah sebuah julukan yang berkonotasi
penghinaan bagi umat Islam.
Akibat dari itu semua, maka pada gilirannya
masyarakat muslim Melayu selalu mengadakan perlawanan dengan pihak pemerintah
(kerajaan). Konsekuensinya adalah, mereka melahirkan sejumlah organisasi
seperti Pattani United Liberation Organization (PULO) dan Barisan Nasional
Pembebasan Pattani (BNPP). Organisasi ini, berusaha keras memperjuangkan
wilayah Thailand selatan untuk mendapat otonomi.[10]
F.
Minoritas
Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintahan Thailand
Secara kultural baik dari segi agama, bahasa dan
budaya, minoritas muslimMuagthai yang tinggal di Thailand Selatan merupakan
bagian dari bangsa Melayu. Apalagi tempat tinggalnya secara geografis
berbatasan dengan negara negara Melayu Malaysia. Namun dari segi politik mereka
merupakan bagian dari bangsa Muangthai, sejak mereka secara devunitif
dimasukkan kedalam kerajaan Thai, dibawah kekuasaan Chulalongkorn atau Rama V
pada tahun 1902. Sebenarnya muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri
dari kerajaan Muangthai, dan bergabung dengan Malaysia. Karena dengan itu
mereka dapat hidup dengan masyarakat yang seagama, sebahasa, sebudaya dan
sebangsa. Dibawah pemerintahan Muagthai yang menganut agama Budha sebagai agama
resmi negara, meraka merasa diperlakukan tidak adil sebagai minorias.disamping
itu mereka terisolasi dari birokrasi negara pemerintahan, bukan saja karena pusat
pemerintahan jauh dari daerah itu dan perasaan terasing dari birokrasi negara,
tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Sehingga
asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi sulit tercapai. Kaum
muslim Thailand sebaliknya terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu karena
mengalami kesulitan dalam beradabtasi.
Penyebab mereka sulit beradabtasi pertama, minoritas
muslim banyak yang tinggal di Rural seperti Patani, Yala dan Narathiwat hanya
dapat sedikit berbicara bahasa Thai atau tidak bisa sama sekali. Ini membuat
mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum Cina dan Budha. Kedua, berdasarkan
keyakinan agama kaum muslimin Thailand secara militan menolak kedua kelompok
tersebut. Ketiga, ketakutan kaum muslim Thailand bahwa interaksi dengan Thai
Budhis akan mengakibatkan anak anak mereka menerima Budha Thai, melalui prosese
asimilasi dan berakibat mengikis tradisi Melayu serta nilai nilai ajaran agama Islam.
Selain itu, proses isolasi terhadap kaum muslim
Thailand, sebagian disebabkan oleh self infossed, sebagian juga disebabkan oleh
tekanan orientasi media. Televisi lokal dan beberapa stasiun radio khusus untuk
melayani pemirsa native speaking Thai. Siaran banyak menggunakan bahasa Thai
dan memfokuskan diri pada soal soal yang menjadi kepentingan populasi Thai,
Budhis dan Cina. Sangat sedikit siaran dan program dalam bahasa Melayu. Surat
kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali koran lokal ada yang
menggunakan bahasa Melayu.
Singkatnya secara umum kaum muslim di bagian
selatan Thailand tetap tidaka merasa
puas dengan keadaan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi di wilayah
mereka. Perasaan terasing semakin kuat ketika kaum bangsawan Patani dicopot
dari semua kekuasaannya. Dan semua jabatan dialihkan kepada birokrat dari
Bangkok atau provinsi Utara, yang memiliki bahasa, agama dan budaya yang
berbeda dengan masyarakat muslim Patani. Karena itu yang menjadi persoalan
masyarakat minoritas muslim di Thailand sejak dulu adalah bagaimana seharusya
berpartisipasi dalam proses politik sebuah negara yang didasrkan atas kosmologi
Budhis. Birokrasi yang mewakili negara di dominasi oleh orang Thai Budhis,
berbagai upacara dan ritual kenegaraan semuanya Budhis, dan yang paling penting
adalah birokrasi memiliki kekuasaan untuk mengubah nilai nilai dan lembaga
sosial budaya, termasuk nilai nilai keagamaan untuk disesuaikan dengan
kebutuhan negara.
Pada masa pemerintahan perdana menteri Phibul songkram (1938-1944) dan (1947-1957),
misalnya dikeluarkan kebijakan dan program integrasi pemerintahan Muangthai
yang sangat mengkhawatirkan masyarakat muslim Patani. Sebagai seorang diktator
Phibul berusaha men-Syiamkan semua kelompok minoritas non Budhis di Muangthai.
Pada tahun 1940 mulai diberlakukan dan dipaksakan aturan aturan kultural
tertentu. Kebijakan Phibul didukung dengan sitem politik yang berlaku di
Muagthai, dimana otoritas pemerintah bersifat absolut. Sistem seperti ini
dikenal dengan politik birokrasi, yang berarti kuatnya kontrol pemerintah terhadap
kehidupan rakyat. Kebijaka seperti ini justru mempertegas identitas mereka
untuk menentang. Pada periode elanjutnya pemerintah Thai mencabut bebrapa
kebijakan ekstrim khususnya maklumat.muslim
Kebijakan asimilasi dimulai pada tahun 1932,
pemerintahan mewajibkan masyarakat muslim untuk belajar dan berbicara dengan
bahasa Thai, memakai pakaian Thai, bahkan anak muslim dihalangi untuk belajar
ke sekolah Islam. Sistem ini memberi arti tidak ada satupun dalam kehidupan
rakyat yang terlepas dari kontrol pemerintah. Ratthanayom dari rezim lama
menunjukkan sikap politik trhadap kaum muslimin, seperti memberikan keebasan
terhadap minoritas muslim untuk menjalankan agamanya. Cara ini berhasil membuat
masyrakat muslim mau terbuka dan menggandeng saudaranya sesama muslim untuk
berperan dalam pembangunan nasional Muangthai. Partisipasi Muslim-Melayu dalam
sistem politik dan sebagai negara Muangthai mulai tumbuh sejak bangkitnya
demokrasi tahun 1979. Kaum muslim di Muangthai terpecah menjadi empat kelompok
:
a. Chularajmontri
yaitu kepalakantor masyarakat muslim di Muangthai
b. Kelompok
modernis yang meneritkan jurnal al-jihad
c. Kelompok
ortodok yang menerbitkan al-rabitha
d. Kelomopok
muslim melayu di selatan
Semua kelompok ini meski terbagi karena perbedaan
kepentingan, namun sama sama memiliki komitmen terhadap Islam. Masyarakat
muslim Thailand merasa tidak senang dengan intervensi pemerintah yang sangat
dalam terhadap kehidupan keagamaan dan sosial budaya lokal. Hal ini memperteguh
gerakan saparatis masyarakat muslim yang gigih melakukan perang gerilia melawan
kekuatan pemerintah Muangthai. Kaum saparatis ini menginginkan kemerdekaan,
meskipun sebagian lebih menyukai satu perserikatan dengan Malaysia. Tujuan
utuma gerakan ini adalah membebaskan mslim-Melayu Patani dari kekuasaan
Muangthai dan berastu dengan negara Malaysia. Tetapi setelah dirasa sulit
dicapai, maka tujuan perjuangan mereka diubah yaitu untuk mendapatkan otonomi
dibidang politik dan kebudayaan dengan harapan dapat menegakkan agama Islam di
dalam masyarakat Melayu-Muslim Patani.
Pada tahu 1947 Haji Sulong seorang pemimpin muslim
dan presiden agama Islam bersama pemimpin lainnya menandatangani petisi
menuntut salah satunya hak otonomi penuh. Petisi ini ditolak oleh pemeintah dan
Haji Sulong ditangkap pada tahun 1948. Namun dia dibebaskan setelah 3,5 tahun
di penjara. Pada tahun yang sama pemerintah berusaha kembai menarik perhatian
masyarakat muslim dengan menjadikan hari Jumat sebagai hari libur sekolah,
membantu biaya pembangunan masjid, memberlakukan hukum Islam, memperkenalkan
bahasa dan budaya melayu sebagai mata pelajaran di sekolah menengah. Pada saat
yang sama mengalir kewajiban bagi siswa untuk mempelajari etika Budha di
sekolah pada wilayah tersebut, dan mengangkat seorang pejabat muslim untuk
membantu pemerintah melayani persoalan persoalan Islam. Namun demikian
kebijakan ini tidak pernah dipelihara secara konsisten. Muslim Thailand
bergabung dengan kelompok seperti Patani United Liberation Organization (PULO),
Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP), dan masih ada lagi organisasi
lainnya. Keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan Thai dikarenakan kaum
muslimin melihat adanya keenganan pemerintah untuk memberikan kebebasan dalam
mengamalkan ajaran agamanya dan megungkapkan aspirasi budaya mereka.[11]
G.
Perkembangan
Kontemporer Minoritas Muslim di Thailand
Pada tahun 1990 an muslim Thailand mulai mendapat
kebebasan dalam menjalankan syariat Islam, namun keinginan unuk memberlakukan
hukum Islam diwilayah mereka tetap terus mereka perjuangkan. Hubungan
pemerintah dan Melayu-Muslim mulai mambaik dan semakin segarnya angin demokrasi
yang bertiup di negara Thailand. Seperti yang dikemukan Abdul rojak seorang
tokoh Patani, bahwa perubahan sikap pemerintahan Thailand itu agaknya lebih
karena tekanan internasional sehubungan dengan sedag menghangatnya isu (HAM).
Akan tetapi meski pemerintahan berusha mempebaiki hubungannya dengan
Melayu-Muslim, mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunnya.
Dengan menolak bantuan dari pemerintah mereka bisa terbebas dari sikap
pemerintah untuk mendikte mereka.
Konflik di daerah selatan sangat erat dengan nilai
nilai agama. Apabila dilihat lebih dekat, identitas muslim melayu di selatan
memang sangat kuat. Dalam tiga tahun terakhir lebih dari 300 orang meninggal
berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan
di bom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan
polisi terhadap muslim. Pada April 2004, 30 pemuda muslim ditembak oleh tentara
di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad ke 15
masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada masa
khalifah Abbasyiah. Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175
muslim Ta’bai meninggal diperjalanan setelah mereka demontrasi kepada
pemerintah dan dimasukkan kedalam truk dalam kondisi tangan terikat. Peristiwa
Ta’bai menimbulkan reaksi paling keras dari muslim, yang kemudian membalas
dengan menembakkan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara,
polisi, pegawai pemerintahan Thai, miss Cina dan pendeta Budha. Hampir etiap
bulan memakan korban dipihak tentara atau Budha.
Pada bulan februari 2004, Organisasi Konferensi
Islam (OKI) meminta pemerintahan Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasaan
terhadap warga muslim di wilayah Selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah
satu poin dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara sekretaris jenderal
OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan perdana menteri Malaysia Abdullah Badawi,
yang mengetahui konferensi tingkat tinggi Islam ke sepuluh. Prof. Ihsanoglu
mengungkapkan rasa ketidakpuasaannya karena tindak kekerasan terhadap warga
muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI an dunia internasional
sudah mendesak pemerintahan Thailand untuk segera mengakhirinya.
Upaya rekonsilasi telah dilakukan oleh pemerintahan
pusat dalam 5 tahun terakhir, dengan terbentuknya rekonsilasi nasional yang
menghantarkan dan memedisiasi perdamaian di Selatan. Namun pendidikan,
fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi kaum
muslimin. Sementara itu partai demokrat yang menekankan persatuan negara
Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan. Partai Thai Rak Thai
yang dalam periode thaksin memerangi parlemen secara sengaja meninggalkan
Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum, bahkan
membiarkan kerusuhan di Selatan. Sejak tahun 2004 kekerasan di Thailand telah
menewaskan 2200 orang yang mayoritas beragama Islam. Kerusushan yang muncul
dipelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan, diantaranya adalah
aparat pemerintah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa timbulnya sikap anti
pemerintahan pusat yang dilakukan muslim di Thailand Selatan diakibatkan banyak
hal.[12]
H.
Diskriminasi
Muslim Patani ( Sosial Ekonomi dan Pendidikan)
1. Sosial
Ekonomi
Di Thailand terdapat sebuah kota yang bernama Hatyai
yang menjadi kota kedua terbesar di Thailand setelah Bangkok dikenal dengan
surga laki laki. Kota ini dibangun buka untuk masyarakat Patani. Ratusan hotel
dibangun setiap tahunnya dengan mengerahkan tenaga kerja dari Utara (Budhis Thailand).
Ironisnya nilai moral dan Islam justru hancur. Kebanyakan usaha di Patani di
kuasai oleh Cina Thailand. Pabrik pengalengan makan dan pengalengan ikan di
miliki oleh Cina. Mereka mengambil para pekerja dari Utara yang mayoritas
Budha. Produk makanan kaleng kebanyakan di pasarkan di negara Arab dan muslim.
Produk itu diberi label halal yang dikeluarkan oleh Sheikul Islam Thailand.
Menurut BRN kebanyakan Sheikul Islam diragukan kejujurannya. Hal ini mengingat
pabrik pabrik yang dikeluarkan oleh non muslim itu memperkerjakan 100% non
muslim, tetapi sertifikat masih dikeluarkan. Satu sertifikat berharga antara
5-10 juta Bath Thailand. Sheikul Islam juga dianggap ikut menekan masyarakat
Patani. Sebagian besar mereka dipilih dari muslim Thailand bukan muslim Melayu.
Masalah tenaga kerja ini terjadi pda pabrik karet,
Thailand adalah negara pengekspor karet terbesar kedua setelah Indonesia. 80%
dari hasil karet Thailand dihasilkan dari lima provinsi Thailand Selatan.
Tetapi kebanyakan pekerja pabrik didatangkan dari Utara non muslim. Hal ini
karena masyarakat Patani menolak dibayar dengan upah yang rendah, sedangkan
pekerja Utara mau dibayar dengan upah yang rendah. Pabrik pabrik karet yang
besar dimiliki oleh orang Cina. Pengauran harga ditetapkan oleh pemerintah
tetapi usulan harga dan jumlah produksi karet disampaikan oleh penguasa Cina.
BRN
mengakui memang tidak ada tekanan ekonomi secara langsung kepada masyarakat
Patani. Tetapi kebebasan usaha yang diberikan pemerintahan kepada Cina dan
datangnya pekerja dari wilayah Utara yang Budha akan berdampak pada ekonomi
masyarakat Patani. Hal ini ditambah lagi dengan adanya IMT-GT yang membebaskan
jalur perbatasan dengan Malaysia. Berbagai kebijakan pemerintahan Bangkok itu
menjadikan masyarakat Patani semakin terjepit dalam berusaha. Ditambah lagi
dengan adanya masalah yang berhubungan dengan moral dan tingkah laku masyarakat
terutama prostitusi di Thailand dikenal dengan industri pariwisata yang
nerupakan penghasilan terbesar negara itu. Industri pariwisata itu menyumbang
sekitar 5 milyar dolar Amerika, dan sumbangan trbesar pariwisata adalah
prostitusi.
2. Pendidikan
Meskipun sikap orang orang Patani atau oarang Islam
Thailand sudah mulai meluna terhadap pemerintahan, mereka tidak sepenuhnya
percaya dengan program pembangunan pemerintahan Thai. Sebab mereka melihat
bahwa pembangunan itu merupakan upaya pengikisan identitas kultural mereka. Hal
ini terlihat dengan dilarangnya pendirian pondok pondok pesantren oleh para
ulama di Thailand. Tetapi ketika jumlah pondok pondok pesantren semakin banyak,
pemerintahan Thai menganggap pondok pesantren sebagai tempat peresmian
radikalisme dan menentang pemerintah. Pemerintah berusaha mengubah pondok
pesantren menjadi sekolah swasta biasa dengan tekanan khusus pada bidang agama.
Kemudian pemerintah mengeluarkan UU sekolah swasta 1949 yang mengharuskan semua
sekolah swasta di negara itu untuk mendaftarkan diri pada kementrian pendidikan
dan menyesuaikan kurikulum yang digariskan pemerintahan.
Agaknya pendidikan menjadi masaah yang
berkepanjangan di Thailand. Dalam usaha pngembangan pendidikan masyarakat
mencoba mengembangkan secara purba atau tradisional. Taraf pendidikan menjadi
rendah karena pemerintah mengutuk anggaran untuk kemajuan muslim dan
pengembangan Islam. Sekitar tahun 1923, pemerintahan Bangkok meninjau kembali
kebijakan menegnai pendidikan wajib, penetrasian birokrasi, dan campur tangan
dalam urusan ekonomi sosial di provinsi melayu. Pada tahun 1968, pemerintah
memutuskan bahwa semua pondok yang telah mendaftar harus menghapus semua
pelajaran melayu dan menggunakan bahasa Thai sebagai bahasa pengantar di pondok
pesantren. Setelah itu pemerintah juga melarang pendirian pondok pesantren
baru. Pemerintah yang tadinya mengubah pondok pondok pesantren menjadi sekolah
swasta secara suka rela, menjelang akhir tahun 1971 menjadikannya suatu
kewajiban.
Tahun 1975-1976, Patani Unaitide Organization (PULO)
menggerakkan masa untuk melakukan serangan demontrasi untuk menuntut
pemerintahan yang bersifat otonomi, aksi ini mendapat perhatian dan dukungan
internasional. Dalam hal ini PULO melakuka kaderisasi denagn mendorong para
anggotanya untuk memasuki lembaga lembaga pendidikan keagamaan. Saat ini jumlah
pondok pesantren di Thailand sudah mencapai lebih kurang 500 sekolah denagn perincian
kurang lebih 300 dari 500 sekolah tersebut sudah bersifat rresmi. Disekolah
agama bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan Arab. Disamping itu
pemerintahan Thailand tidak memberikan legalisasi untuk ijazah bagi santri
sekolah agama. Oleh sebab itulah para santri tidak dapat melanjutkan kesekolah
umum untuk mencari pekerjaan. Bagi muslim Islam Thailand, sekolah agama hanya
berfungsi semata mata untuk mempelajari agaa Islam.
Pada tahun tahun selanjutnya guru guru agama dan
sekolah lokal menjadi institusi utama bagi Melayu Islam untuk mempelajari
budaya, identitas, sejarah mereka. Sementara keputusan Bangkok menghalangi
budaya Melayu Islam hanya pada bidang bidang tertentu seperti media dan
pemerintahan.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang
bisa dibilang tragis dan berliku. Mulai dari agama Islam menapakkan kakinya di
kerajaan Patani dan kemudian menjadi mayoritas diwilayah tersebut. Masyarakat
muslim Thailand kini telah menjadi bagian integral dari keseluruhan
pemerintahan. Secara historis, kultur dan ekonomi masyarakat minoritas muslim
di Thailand selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke
waktu. Akan tetapi mereka tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang
dipahami. Saat modernisasi merambah semua negara, dan Thailand menjadi negara
demokrasi, dan muslim Thailand mulai di pandang positif oleh komunitas lainnya.
Hal ini tampak dari pertumbuhan pondok pesantren dan masjid yang semakin
berkembang pesat khususnya di daerah Patani. Meskipun begitu minoritas muslim
Thailand masih jauh dari kelapangan dalam hidup, karena mereka tetap menjadi
minoritas yang mendapatkan tekanan dan diskriminasi yang belum berhenti hingga
saat ini.
Ketidakinginan masyarakat Melayu Muslim untuk
berasimilasi dengan budaya Thai, disebabkan oleh kepercayaan mereka yang sangat
kuat tentang asal usul mereka, baik secara historis maupun budaya yang
mempunyai hubungan dekat bangsa Melayu. Pengaruh Islam dan budaya Melayu yang
kuat dari negara Malaysia, juga turut andil membentuk identitas yang demikian
mengakar dalam masyarakat di Selatan, terutama Patani.
B.
Saran
Demikianlah yang dapat penulis paparkan mengenai
materi masuk dan bagaimana Islam di Thailand. Penulis sadar makalah ini jauh dari
kata sempurna, untuk itu penuli sangat mengharapkan masukan dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman, 2017, Historikal islam Asia Tenggara, Yogyakarta : Kalimedia
Dardiri Husni, 2006, Sejarah Islam Asia Tenggara, Alaf Riau :
ISAIS
Helmiati, 2008, Dinamika Islam Asia Tenggara, Pekanbaru:
Suska Press
https://pmi-sumedang.blogspot.com/2012/02/sejarah-perkembangan-islam-di-patani_03.html
Sumber https://www.sumbersejarah.com/suku-bangsa-di-thailand/
Sumber https://www.researchgate.net/publication/328806877_islam_di_thailand
[1] Helmiati,
Dinamika Islam Asia Tenggara,
Pekanbaru:Suska Press, 2008
[3] Dardiri Husni, Sejarah Islam
Asia Tenggara. ( Alaf Riau : ISAIS, 2006) hal 120
[6]
Sumber https://www.sumbersejarah.com/suku-bangsa-di-thailand/
[7]
https://pmi-sumedang.blogspot.com/2012/02/sejarah-perkembangan-islam-di-patani_03.html
[10]
Sumber https://www.researchgate.net/publication/328806877_islam_di_thailand
[12] Arisman, Historikal islam Asia
Tenggara ( Yogyakarta : Kalimedia, 2017 ) hal 384-389
0 komentar:
Posting Komentar